Oleh Budisutrisna
Pendahuluan
Wayang adalah lambang hidup dan kehidupan manusia. Manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak satu pun yang lebih ajaib dari manusia. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang mampu mengenal manusia secara tuntas. Manusia hanya bisa mengetahui serba sedikit tentang dirinya (Sri Mulyono, 1983: 11-12).
Masyarakat belum banyak mengetahui tentang makna simbolik wayang. Padahal tokoh-tokoh wayang, tidak terkecuali Panakawan sarat dengan makna simbolik yang terkait dengan kehidupan manusia. Di antara Panakawan yang paling terkenal adalah Semar. Oleh karena itu gagasan atau pandangan-pandangan tentang manusia di balik makna simbolik Semar perlu dikaji lebih lanjut, sebagai bagian dari usaha manusia Indonesia untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Menurut Carrel (1987: 11) umat manusia belum bisa memahami manusia sebagai suatu keseluruhan. Bahkan peradaban yang dibangun manusia tanpa sedikitpun pengetahuan tentang hakikat manusia yang sesungguhnya. Maka kajian makna simbolik Semar dalam kaitannya dengan kehidupan manusia menjadi penting.
Mengingat Semar mengandung makna simbolik, maka perlu adanya pemaknaan terhadap Semar. Dalam kaitannya dengan pemaknaan yang harus terus-menerus dikembangkan adalah upaya reaktualisasi, revitalisasi, dan rekonstruksi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal ini diharapkan agar dapat menghadapi tantangan perubahan kehidupan masyarakat. Jika tidak dilakukan pemaknaan simbolik tersebut maka cepat atau lambat wayang akan ditinggalkan oleh generasi muda (Musa Asy’arie, 2012: 1).
Semar dan Kehidupan Manusia
Alkisah dalam seni wayang, yang merupakan mula pertama menjadi bapak-ibu segala tokoh wayang ialah Hyang Manik Maya (Betara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Manik Maya dan Ismaya adalah putra Hyang Tunggal yang tidak diwujudkan wayang. Pada mulanya kedua putra tersebut berupa cahaya yang terjadi bersamaan waktu. Manik Maya berupa cahaya kemilau dan Ismaya berupa cahaya kehitaman. Kedua cahaya itu berebut lebih tua. Menurut Hyang Tunggal, cahaya kehitaman yang lebih tua dan diberi sifat-sifat manusia serta dititahkan untuk tinggal di dunia guna mengasuh keturunan Dewa yang berdarah Pandawa, kemudian diberi nama Semar.
Mengenai cahaya yang kemilau diberi nama Manik Maya dan tetap tinggal di Suralaya, kerajaan Dewa. Sesungguhnya kedua tokoh tersebut melambangkan tentang manusia. Ismaya melambangkan tubuh manusia dan Manik Maya melambangkan halusnya batin manusia. Kasarnya tubuh manusia (Semar) senantiasa melindungi Pandawa Lima yang sebetulnya berupa panca indera. Maka ia senatiasa menjaga keselamatan Panca indera (Pandawa), yakni indera hidung (Yudistira), indera telinga (Wrekodara), indera mata (Arjuna), indera mulut (Nakula), dan indera perasa untuk meraba (Sadewa) yang kesemuanya merupakan tokoh-tokoh dalam Pandawa Lima (Hardjowirogo, 1982: 11-12).
Para tokoh Pandawa lima yang terdiri dari Yudistira, Wrekodara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa mengandung makna simbolik perjuangan manusia yang ingin mencapai kebahagian harus menjaga kelima panca indera jangan sampai menempuh jalan yang salah. Demikianlah penjagaan Semar demi kesejahteraan Pandawa Lima, yakni supaya mereka menjauhkan diri dari permusuhan dengan Korawa. Makna simboliknya supaya dapat memerangi dan menjauhkan diri dari amarah. Akan tetapi Hyang Guru (indera batin) selalu datang menggoda dan mudah menggerakkan indera menuju pada perbuatan yang salah. Maka Pandawa Lima dan Korawa pun tidak henti-hentinya berperang, sehingga pada peperangan penghabisan, Baratayuda, Pandawalah yang jaya dan mendapatkan kemenangan. Makna simbolik yang terkandung di dalamnya, bahwa kebenaran dan kesalahan selalu berebut pengaruh dalam kehidupan manusia, hanya dengan pengendalian dan penjagaan panca indera yang terus menerus maka kebenaran akan menang. Pada akhirnya kebenaranlah yang akan menang, dan kesalahan akan kalah.
Para tokoh Pandawa Lima selalu dikawal oleh Semar. Menut Poedjosoebroto (1978: 137-138) kesemuanya itu mempunyai makna simbolik dalam perjuangan hidup manusia. Berikut ini akan diuraikan makna simbolik Semar tersebut.
Semar sebagai bagian dari seni wayang tentunya ada makna simboliknya yang berkaitan dengan perjalanan hidup manusia di dunia ini. hal inilah yang perlu dikupas dan dicari. Bagaimana makna simbolik dalam adegan terakhir dari seluruh pagelaran wayang yakni joged golek. Dalam joget golek tersebut dalang memainkan boneka dari kayu yang disebut golek. Adegan ini mengandung makna simbolik, bahwa penikmat wayang diharapkan mencari (bahasa Jawa: golek) makna dibalik wayang baik berkaitan dengan lakon atau tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya. Tanpa dikupas makna simboliknya, wayang akan sekedar menjadi tontonan saja tidak bisa menjadi tuntunan. Maka perlu dikupas makna simboliknya supaya wayang bisa menjadi tontonan sekaligus tuntunan dalam kehidupan manusia.
Semar sering disebut dengan nama Ismaya atau Asma-Ku yang merupakan lambang ibadat, mengabdi kepada Allah. Semar selalu ngemong (sebagai pemomong) Pandawa Lima, maknanya untuk mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat, semua panca indera (Pandawa: Yudistira (indera hidung), Wrekodara (indera telinga), Arjuna (indera mata), Nakula (indera mulut), dan Sadewa (indera perasa)) penggunaannya harus dilandasi ibadat. Panca indera harus selalu digunakan, dilandasi, dan dikendalikan dengan niat ibadat. Semua hal apabila dilandasi dengan niat ibadat maka akan mencapai kebahagiaan, memiliki nilai ibadat yang tinggi.
Semar selalu mengadah ke atas, mendongak. Maknanya bahwa dalam beribadat hanyalah untuk keridhoan Allah. Di dalam beribadat seharusnya ikhlas hanya demi Allah.
Semar juga sering disebut Badranaya. Badra artinya kebahagiaan atau kesejahteraan. Sedangkan Naya artinya kebijaksanaan atau politik. Badranaya artinya politik kebijaksanaan, ialah kebijaksanaan yang menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Pemerintah yang memimpin rakyatnya seharusnya selalu dilandasi dan menjalankan ibadat agar mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan sejati di dunia dan di akhirat (Poedjosoebroto, 1978: 51)
Badra dapat berarti pula bulan yang membawakan kebahagiaan. Badra dapat pula berarti usaha yang dapat membawakan kebahagiaan, jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran.
Semar dapat diartikan sebagai Panakawan yang maknanya abdi. Pana = tahu, kawan = teman. Panakawan berarti tahu akan kepentingan teman, tahu akan kepentingan umum. Menjadi Panakawan artinya mengabdi akan kepentingan umum, mengabdi kepada masyarakat. Harus memiliki jiwa sosial yang penuh pengabdian dan kebaktian, tidak mementingkan diri sendiri.
Lebih tinggi ilmu dan kedudukannya, manusia harus lebih tinggi pengabdiannya kepada masyarakat yang selalu dilandasi dengan ibadat. Seorang pemimpin terlebih para pemimpin negara harus bisa menyadari dan mengamalkan pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Sebaliknya rakyat juga harus menyadari pula mengabdi kepada sesama rakyat dan dilandasi dengan niat ibadat.
Jadi politik bijaksana menuju kepada kebahagiaan, yaitu selalu memberi contoh dan memimpinn rakyat untuk selalu beribadat. Dengan demikian Negara akan stabil. Dalam suatu cerita pewayangan, jika Semar berwujud ksatria ia bersemayam dipertapaan Kandang Penyu. Hal ini mengandung makna bahwa ibadat adalah wadah atau sarana untuk mengadakan penyuwunan (permohonan).
Penutup
Semar dalam kaitannya dengan kehidupan manusia mengandung makna simbolik yang menggambarkan pengendalian diri panca indera (Pandawa) manusia melalui ibadat, serta pengabdian kepada masyarakat mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Semar bukanlah semata-mata tokoh dalam seni pewayangan saja, tetapi mengandung ajaran luhur yang bisa dijadikan tontonan sekaligus tuntunan bagi perjalanan dan perjuangan hidup manusia. Maka Semar selalu mengikuti Janaka. Janaka dapat dilacak dari kata janna + ka = sorga + mu (Swargamu). Maknanya pengendalian diri manusia dengan ibadat dan pengendalian diri kepada masyarakat itulah yang dapat mengantarkan manusia mencapai sorga-kejayaan, kebahagaiaan dunia dan akhirat.
Makna simbolik Semar tersebut menunjukkan salah satu segi dari sifat kelenturan wayang. Hal ini merupakan salah satu penyebab wayang tetap bisa eksis dan diterima dalam berbagai zaman. Sebagaimana dikemukakan oleh Sri Tedy Rusdy (2012: 2) bahwa dibalik keketatan dan kesetiaan wayang kepada sumber pokok yakni cerita Mahabarata dan Ramayana, wayang sesungguhnya begitu lentur mengikuti selera zaman. Sifat lentur dan elastis wayang inilah yang menjadi salah satu aspek penting sehingga wayang tetap bertahan di tengah-tengah budaya kontemporer. Maka dengan sifat lentur melalui daya simboliknya inilah Semar yang merupakan bagian dari seni wayang menemukann maknanya dalam kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
Carrel, Alexis, 1997, Man, The Unknow, Terjemahan Kania Roesli dkk, PT. Remadja Karya, Bandung.
Hardjowirogo, 1982, Sejarah Wayang Purwa, PN. Balai Pustaka, Jakarta.
Musa-Asy’arie, 2012, Simbolisme Wayang Perspektif Islam, Makalah Seminar Wayang, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Tahun 2012.
Poedjosoebroto, R., 1978, Wayang Lambang Ajaran Islam, Pradnya Paramita, Jakarta.
Sri-Mulyono, 1983, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang, PT. Gunung Agung, Jakarta.
Sri-Tedy Rusdy, 2012, Wayang sebagai Sumber Inspirasi Kearifan Lokal di Tengah Dominasi Budaya Kontemporer, Makalah Seminar Wayang, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Tahun 2012.
Keterangan
Gambar depan diambil dari https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/3c/Wayang_Kulit_of_Semar_crop.jpg