• UGM
  • IT Center
  • Filsafat
Universitas Gadjah Mada Menara Ilmu Filsafat Wayang
Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • Tentang Filsafat Wayang
    • Pengantar
    • Mitra
  • Materi Kuliah
  • Berita
    • Lokal
    • Regional
    • Nasional
    • Internasional
  • Bahan Ajar
    • Artikel
    • Jurnal
    • Ebook
    • Tugas Akhir
  • Kuliah online
    • Forum
    • E- learning
  • Galeri
    • Foto
    • Video
  • Quiz
    • Kuis
    • Tebak Gambar
  • Hubungi Kami
  • Beranda
  • Artikel
  • Menara Gading atau Sangkar Emas?: Meninjau Kembali Konsep Adiluhung dalam Wayang

Menara Gading atau Sangkar Emas?: Meninjau Kembali Konsep Adiluhung dalam Wayang

  • Artikel
  • 9 September 2019, 22.03
  • Oleh: filsafat.wayang.filsafat
  • 0

Oleh Rudy Wiratama 

Berbicara tentang wayang, terlebih sesudah penganugerahan “Masterpiece of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity” oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003 dan penyerahan penghargaannya pada 13 April 2004, tentu asumsi kita sebagai penggemar dan penikmatnya akan segera mengerucut kepada satu premis lain, bahwa wayang memang sepatutnya dipandang demikian karena sifat-sifatnya yang adiluhung. Tak hanya berhenti di situ, bahan-bahan Musyawarah Daerah (Musda) Persatuan Pedalangan Indonesia Jawa Tengah pada tahun 2018 lalu juga masih menggunakan kata adiluhung sebagai panduan penyusunan program kerja dan kode etik profesinya. Hal ini dapat dibaca pada butir Panca Darma Dalang Indonesia yang ketiga, berbunyi “Dalang Indonesia bertekad mewuijudkan karya seni pedalangan yang adiluhung sesuai dengan kaidah-kaidah pedalangan yang ada serta tanggap terhadap perkembangan dan kemajuan jaman”.

Akan tetapi, perkembangan baru-baru ini —ketika wayang terus mengalami inovasi dan perkembangan nyaris tanpa henti dan di lain sisi juga harus mempertahankan hidup di tengah masyarakat yang semakin tidak mengenalnya lagi— memantik beberapa pertanyaan juga dalam benak kita: apakah wayang sebagai sebuah kesenian adiluhung masih relevan? Jika ya, keadiluhungan yang mana sebenarnya yang harus dilestarikan dalam wayang? Lantas, apa sebenarnya konsep adiluhung?

Konsep adiluhung, bagi kebudayaan daerah Indonesia pada umumnya (sebagai sumber kebudayaan Nasional) dan wayang pada khususnya, tentu telah lama kita terima selama bertahun-tahun dari Pemerintah melalui struktur birokrasi resmi maupun organisasi-organisasi pewayangan dan pedalangan dari tingkat regional sampai nasional. Konsep ini memiliki banyak pemahaman, di antaranya “luhur dan indah” (bdk. PEPADI Jateng, 2018:20), tinggi mutunya (KBBI Daring, 2019), dan definisi yang tertua dari kata adiluhung ini barangkali satu-satunya dapat kita temukan dalam Bausastra Jawi tulisan W.J.S. Purwadarminta tahun 1939, yang menguraikannya sebagai arti lema seni, yakni kagunan adiluhung (kemampuan “adiluhung”), di mana luhung sendiri oleh Purwadarminta dimaknai sebagai luhur, linuwih (tinggi; berlebih) atau luwung, angur (“lebih baik daripada”). Penelusuran terhadap naskah-naskah yang lebih tua berasal dari tradisi tulis Keraton Surakarta maupun Yogyakarta justru tidak mengenal kata adiluhung ini sebagai sebuah konsep etis maupun estetis dalam berkesenian. Adiluhung, dalam serat Cěnthini era Pakubuwana IV (1788-1820) banyak mengacu kepada hal-hal yang berada di “puncak keindahan”, benar-benar “di puncak pengalaman batin”, dalam hal ini surga Darussalam dan pencapaian seorang salik atau penempuh jalan suluk ke dalam ittihad atau Manunggaling Kawula Gusti. Penggunaan kata adiluhung dalam konteks estetis ternyata baru marak pada abad ke-20 awal, di antaranya tětingalan adiluhung (tontonan yang indah menyenangkan) dalam karangan Purwosastro  tentang biografi Pakubuwana VII (1955), juga pinanganggyan adiluhung “dipakaikan busana yang sangat indah”, yakni busana pengantin, dalam Babad Děmak tulisan Dewabrata (1914). Sementara itu, di luar kalangan keraton kemudian kata adiluhung sendiri diterjemahkan lain, seperti “luhur” (Soenarja dalam Mardi Siwi, 1941), “warisan budaya bermutu tinggi” (Kamajaya dalam pengantar transliterasi Centhini, 1986). Dengan demikian, dalam kurun waktu kurang lebih dua abad telah terjadi pergeseran makna dan konsep adiluhung itu sendiri dari transendental ke estetik, dan pada akhirnya dijadikan juga landasan aksiologis dalam rangka pelestarian budaya.

Pemahaman masyarakat dan birokratnya tentang konsep adiluhung pun berubah karena hingga sekarang belum ada garis-garis yang pasti dalam memaknainya. Keawaman dalam memahami istilah yang sangat mujarad ini pada akhirnya menimbulkan banyak tafsir, dan tidak jarang pula tafsir ini justru sangat jauh dari awal mula konsepsinya. Pendapat W.J.S. Purwadarminta bahwa “adiluhung” adalah sebuah kemampuan atau keterampilan di atas rata-rata barangkali justru lebih terkait dengan aspek teknis kesenian itu sendiri secara umum, sebagaimana pendapat Alfred Gell (1998) bahwa kesenian adalah “heightened experience” atau “pengalaman yang ‘dilebihkan’ atau technology of enchantment “teknologi pesona” daripada dikotomi Theodor Adorno tentang “high art” dan “low art” yang lebih banyak berbicara tentang masalah pertentangan kelas, Namun, rupanya dalam dialektika dunia pedalangan dan pewayangan para praktisi dan pemerhati wayang sendiri kerap terjebak dalam kesimpangsiuran konsep adiluhung, sehingga banyak sekali kebijakan-kebijakan yang justru salah arah dalam memperlakukan wayang. Di antara kebijakan yang salah arah tersebut adalah menganggap konsep adiluhung sama dengan glamour, sehingga pada gilirannya format wayang menjadi semakin membengkak dengan jumlah instrumen dan pengrawit yang diperbanyak, panggung yang luas, gawangan kelir atau bingkai layar yang panjang, simpingan wayang berperada emas serta tampilan dalang yang flamboyan. Pertunjukan wayang dengan format ini tentu saja tampak mewah dan “luhung” terutama bagi kalangan birokrat Indonesia generasi kedua yang bukan lagi “priyayi genealogis” melainkan “priyayi struktural”, akan tetapi jika dilihat dari segi konten, justru kemasan glamor ini perlahan-lahan membuat imaji masyarakat tentang adiluhung sendiri menjadi semakin baur.

Wayang dan dalangnya dengan tuntutan akan hiburan yang hedonistik pada akhirnya harus bertransformasi menjadi sebuah showbiz dan superstar yang kemudian berebut popularitas dan kharisma, tak lagi mengajak para penontonnya berkontemplasi dan merefleksi diri melalui pengalaman menonton wayang selakon utuh (bukan lagi “semalam suntuk”) sebagai sebuah upaya untuk mencapai catharsis sebagaimana van Peursen (1988) membandingkannya dengan motivasi orang Yunani kuna aktif dalam menulis dan menonton drama hingga berulang-ulang. Padahal, jika kita berpijak pada penghargaan UNESCO yang menggolongkan wayang sebagai warisan oral atau tradisi kelisanan, mestinya keadiluhungan jangan lagi disangkut-pautkan dengan semua yang serba mewah, gebyar dan spektakuler dari segi kemasan, namun juga harus terkait dengan bagaimana isi dari pertunjukan wayang itu sendiri, yakni lakon atau ceritanya dan semua isian di dalamnya, dapat menuntun penonton untuk menghayati lagi pengalaman “adiluhung” dalam diri mereka. Tentu saja, hal ini mungkin menjadi suatu bahan tertawaan bagi masyarakat, yang agaknya kini sedang tenggelam dalam fenomena pranking (“menjahili”), hoaxing (“membohongi”) dan bullying (“merundung”) atau mocking (“memperolok”), yang dijadikan sarana untuk mencari tawa (golèk guyu) dan kepuasan hati sesaat. Hari ini, hal-hal tersebut dianggap lumrah dan umum, padahal jika kita lihat lagi, sebenarnya fenomena ini adalah cerminan masyarakat kita yang sedang tidak baik-baik saja. Secara intelektual, barangkali peningkatan mutu pendidikan dan tingkat literasi informasi, walaupun tidak merata, telah membawa masyarakat Indonesia ke tingkatan hidup yang lebih baik. Akan tetapi secara emosional-spiritual, hal tersebut ternyata bersamaan terjadinya dengan “matinya” nurani, sebagai akibat dari padamnya konsep “adiluhung” personal yang tidak diusahakan untuk dikenali dan diakrabi sedari mula.

Lantas, bagaimana dalang dan wayangnya harus menyikapi hal ini dengan bijak? Apakah dengan konsep “adiluhung” ini kemudian tercipta sebuah menara gading yang tak terjangkau puncaknya, dengan mengembalikan wayang secara kaffah kepada kondisi-kondisi yang ideal pada zaman Sunan Kalijaga? Ataukah konsep “adiluhung” ini justru menjadi “sangkar emas” aksiologis, di mana jika melangkah di luar itu eksistensinya dapat terancam?

Dalam era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sekarang, kemasan wayang yang demikian glamor seolah menjadi prasyarat utama dengan dalih “agar tidak kalah bersaing dengan kesenian pop Barat”. Akan tetapi, di sisi lain hal tersebut menjadikan masyarakat semakin berjarak dengannya. Dalam acara syukuran dan hajat masyarakat kecil-kecilan, pertunjukan wayang mulai kehilangan urgensi dan relevansi, digantikan dengan organ tunggal, dangdut atau band yang tidak hanya lebih murah dan meriah, namun juga lebih “membumi”, dekat dengan situasi masyarakat yang kini telah berubah. Memang, di lain sisi pementasan wayang masih marak di institusi-institusi pemerintahan, perayaan-perayaan besar dan syukuran-syukuran politik. Namun tentu saja, para penanggap sebagai sumber finansial pertunjukan masih saja menghendaki hiburan dengan konsep “ramai”, “populer”, “atraktif” dan sebagainya, yang justru menepikan kebutuhan untuk mencapai pengalaman “adiluhung” bagi masyarakat pendukungnya sendiri. Pada kasus ini, dalang, wayang dan juga penanggapnya akhirnya hanya mampu berlindung kepada kemujaradan konsep “adiluhung” untuk mempertahankan eksistensi, meskipun secara isian sebagian pertunjukan wayang telah bertransformasi menjadi sebuah hiburan hedonistik yang memuaskan penonton dengan kenikmatan-kenikmatan inderawi yang tidak lagi “adi” (berlebih) dan “luhung”(luhur,tinggi) dalam konteks definisi Purwadarminta dan Gell. Tentu saja, hal ini menjadi ironis, karena dalam tiap-tiap sambutan maupun proposal permohonan dana, kata “adiluhung” nyaris tak pernah ketinggalan!

Jadi apakah “adiluhung” sebagai pengalaman batiniah yang tadinya selalu diharapkan tiap kali orang menonton wayang ini jadi suatu hal yang tak terjangkau atau malah out of date? Bagaimana mungkin dengan kondisi masyarakat yang jauh berubah orang akan dipaksa untuk mengalami “adiluhung” dengan konsep muluk-muluk yang terumus ratusan tahun yang lalu? Beberapa pergulatan pemikiran ini pada akhirnya melahirkan pula banyak pemikiran baru tentang esensi wayang, yang ironisnya masih terkungkung di kuil-kuil akademik yang sulit dijangkau orang awam. Gendhon Humardani pada awal perkembangan gerakan Pakeliran Padat di ASKI Surakarta (1976) menolak konsep “adiluhung” sebagai representasi dari hal-hal yang sulit dijangkau oleh semua orang. Ia menyatakan bahwa pakeliran semestinya berpijak kepada nilai-nilai rohani yang wigati, “yang krusial”. Hal ini terus-menerus dijadikan materi sarasehan sampai berdekade-dekade, dan baru-baru ini salah satu cantrik Humardani, Bambang Suwarno (2018) memeras semua ide tersebut dalam satu adagium pendek bahwa wayang sekarang harus “nglawuhi”. Semula, kata “nglawuhi” ini berarti “walau sedikit namun mengenyangkan dan memuaskan”, tentu saja dalam hal makanan. Akan tetapi, dalam pendapat Suwarno, wayang pun mesti demikian: tidak hanya enak namun harus bergizi, supaya orang sepulang menonton wayang ada pengalaman etis dan estetis yang ikut terbawa, tak seperti orang yang mengkonsumsi junkfood hanya demi tuntutan tren. Keberadaan pemikiran-pemikiran kritis ini semestinya mampu kita tangkap dengan legawa, keluar dari kerangkeng konsep “adiluhung” dogmatis, namun jangan hanya berhenti pada perdebatan intelektual dan tulisan jurnal-jurnal. Seyogyanya hal ini diimplementasikan dalam kehidupan dan dijadikan bahan pertimbangan pula dalam merumuskan kebijakan-kebijakan tentang wayang ke depannya, agar jargon “adiluhung” ini tak lagi sebatas pembelaan terhadap wayang yang semakin lama semakin dianggap “timun wungkuk jaga imbuh”, jika ada alangkah baik, namun jika tak ada pun, tak ada orang yang mencari.

 

 

 

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Recent Posts

  • MAKNA AJARAN HASTHA BRATA DALAM WAYANG
  • MAKNA SIMBOLIK SEMAR
  • Wayang dalam Dimensi Ontologis
  • Wayang, Isu Lingkungan dan Masyarakat Hari Ini
  • Menara Gading atau Sangkar Emas?: Meninjau Kembali Konsep Adiluhung dalam Wayang
Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada
Pusat Kajian Filsafat Wayang Fakultas Filsafat
Jl. Olahraga , Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Telepon: (0274) 550068, 6491197,
Email: filsafat.wayang.filsafat@ugm.ac.id

© Menara Ilmu Filsafat Wayang UGM 2019

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY